Monday 5 December 2016

Trainshop PEP Batch 6 by LPDP

Tanggal 26 Nov-5 Des 2016 saya diberi kesempatan mengikuti Trainshop PEP Batch 6 oleh LPDP di Jakarta. Melalui program ini, intinya LPDP memfasilitasi para alumni yang telah menyelesaikan studi untuk bisa merencanakan karir dengan lebih tertata. Saya pribadi merasa dipaksa untuk memutuskan mimpi karir apa yang mau saya kejar. Mimpi ini harus dituliskan dalam bentuk PEP (Personal Enterprise Plan) dan dipresentasikan di depan para assessor untuk dinilai.
Menyusun PEP ternyata tidak mudah. Mempresentasikannya lebih tidak mudah lagi. Dalam PEP, saya harus memformulasikan IDEAL (Identity, Dream, Enterprise, Achievement, and Learning) dan SCORE (Strength, Concern, Opportunity, Risks, and Evaluation). Faktanya, saya dan sebagian besar peserta training belum betul-betul memahami aspek IDEAL dan SCORE diri sendiri. Untungnya, selama training para lead assessor memberikan coaching dan bila perlu mengoreksi PEP peserta. Saya berkesempatan untuk menceritakan PEP saya H-1 presentasi. Evaluasinya, saya terkesan memiliki dua dream, yaitu di sektor publik dan swasta. Sarannya, dalam PEP saya harus fokus ke satu dream dan menjadikan yang lain sebagai plan B. Beginilah jadinya kalau orang oportunis membuat PEP ^^. Sulit untuk fokus pada satu dream saja. Karena bagi saya, kesempatan kerja apa pun pada dasarnya bagus. Tinggal jalani mana yang lolos duluan. Dalam konteks PEP, sikap ini ternyata kurang tepat karena memunculkan kesan seseorang tidak percaya dengan mimpinya atau kurang optimis. Akhirnya, saya memilih mimpi berkarir di sektor publik, yang opportunity-nya lebih kecil, risikonya lebih besar. Cita-cita saya adalah sebagai Kasubdit Surveilan BPOM RI. Tidak masuk akal? Namanya juga mimpi.
Tibalah hari H presentasi PEP. Di hadapan saya, ada 5 assessor yang berasal dari 4 sektor berbeda; publik, swasta, akademik, dan psikologi. Alhamdulillah saya bisa presentasi kurang dari 10 menit dan dengan cerita yang lancar. Pada saat sesi diskusi, semua assessor bertanya dan memberi masukan. Assessor pertama langsung men-challenge cita-cita saya. Beliau berkomentar bahwa dengan riwayat akademik yang saya miliki, seharusnya saya bisa bercita-cita lebih tinggi. Assessor ke dua menanyakan kenapa saya ingin mewujudkan cita-cita itu, apa yang sudah saya lakukan, dan apa sebenarnya masalah keamanan pangan di Indonesia. Assessor ke tiga bertanya mengapa saya tidak ingin masuk ke departemen kesehatan. Assessor ke empat menantang saya untuk menyebutkan apa nilai lebih yang saya tawarkan kalau saya menjadi Kasubdit Surveilan. Jangan sampai saya sama saja dengan lulusan farmasi dan pangan lainnya. Pertanyaan-pertanyaan itu jujur membuat saya terkejut dan tertekan. Saya tidak mendapatkan apresiasi melainkan tantangan bertubi-tubi. Sepertinya saya salah mengambil langkah. Karir yang saya pilih kurang tepat atau tidak menyelesaikan masalah di Indonesia. Ketika disarankan untuk jadi pelaku usaha yang nantinya memproduksi pangan aman, entah bagaimana saya spontan menjawab bahwa saya kurang berminat dan berbakat wirausaha. Sempat juga mendapat masukan bahwa saya tidak harus membuat produk pangan, tapi bisa dengan menjual teknologi. Nah, makin tidak kepikiran caranya bagaimana. Entah kenapa saya selalu berpikir bahwa wirausaha itu susah. Karena susah, jadi saya kurang suka. Satu demi satu pertanyaan assessor membuat saya ciut. Mata saya berkaca-kaca bahkan sejak pertanyaan pertama. Air mata saya keluar perlahan karena tidak kuasa menahan sedih. Padahal saya akui masukan-masukan mereka semuanya positif dan membangun. Secara keseluruhan, saya merasa kurang sepakat dengan para assessor, tetapi sayangnya pengetahuan saya kurang bisa membantah mereka. Saya tidak berhasil menjelaskan peran penting surveilan dan masalah apa yang berpotensi untuk diselesaikan. Diskusi-pun terputus oleh waktu. Saya sempatkan mengucapkan terima kasih kepada assessor sebelum meninggalkan ruangan. Di luar, tangis saya tumpah.
Selama perjalanan jakarta-banjarnegara, saya terus memikirkan soal presentasi PEP. Saya menyesali diri sudah ngotot dan nangis. Di kesudahan saya menyadari bahwa seharusnya saya tidak ambil hati komentar assessor. Ketika membahas soal peluang menjadi pengusaha pangan aman,seharusnya saya berterima kasih dengan masukan tersebut, lalu menanyakan dengan sopan apakah saya cocok jadi pengusaha dengan enterprise yang masih sangat kurang. Ketika disarankan untuk masuk Depkes/Dinkes, seharusnya saya menjawab akan mempertimbangkan opsi tersebut. Ahh, mengapa saya begitu emosional?? Seandainya bisa lebih santai, saya justru bisa bertanya balik dan meminta penjelasan lebih lanjut ke tiap assessor. Pulang bisa bawa ide, bukan penyesalan.
Yang sudah berlalu, biarlah berlalu. Saya menulis ini untuk mengingatkan diri bahwa ketika ada kesempatan bertemu dengan orang keren, manfaatkan sebaik mungkin bukan untuk berdebat tapi untuk meminta saran mereka.          
Apresiasi setinggi-tingginya untuk LPDP yang telah memberikan program Trainshop ini kepada para awardee-nya.Saya merasa beruntung bisa menjadi salah satu peserta yang terpilih ikut Trainshop PEP. Setidaknya, saya disadarkan akan kelebihan dan kekurangan diri. Kedepannya saya harus lebih chill dengan assessor dan makin terbuka dengan masukan orang lain. Saran itu MAHAL.