Wednesday 13 April 2016

Dilema minum susu

"Saya takut minum susu, karena kabarnya konsumsi jangka panjang dapat memicu kanker."

Pernyataan di atas bukan kali pertama ini saya dengar. Beberapa tahun lalu, ketika masih kuliah S1 ilmu pangan di IPB, ide tentang bahaya mengonsumsi susu muncul dalam topik tentang xenobiotik. Singkatnya, mengonsumsi susu di usia dewasa akan berdampak negatif karena memicu kerja enzim lactase secara berlebihan. Ketika metabolisme tubuh yang dalam hal ini berkaitan dengan enzim 'dipaksa' bekerja, resiko munculnya stress dan sel kanker meningkat. Apakah benar susu se-seram itu? Bagaimana mekanisme susu menyebabkan sel-sel di dalam tubuh menyimpang? Adakah dasar ilmiah yang bisa menjelaskan itu?


Untuk kasus orang yang memiliki gejala lactose intolerance, konsumsi susu perlu dibatasi atau malah dihindari. Sedangkan untuk orang normal, apakah perlu ikut mengeliminasi susu demi kesehatan jangka panjang? Saya berpendapat "tidak". Mengapa? Karena di satu sisi, manfaat susu untuk kesehatan sudah disepakati. Bahkan dalam sejarah Islam, Nabi SAW saja minum susu (susu kambing). Lalu mengapa kita harus menjauhi susu? Di sisi lain, studi dan riset yang berkembang sampai saat ini belum bisa menyimpulkan bahaya susu bagi kesehatan.  Apakah letak masalahnya ada pada asal susu dan proses yang terjadi selama pengolahan?




Ajaran Islam tentang susu
Firman Allah dalam Al Qurán menyebutkan keistimewaan susu dari binatang ternak.

وَإِنَّ لَكُمْ فِي الْأَنْعَامِ لَعِبْرَةً نُسْقِيكُمْ مِمَّا فِي بُطُونِهِ مِنْ بَيْنِ فَرْثٍ وَدَمٍ لَبَنًا خَالِصًا سَائِغًا لِلشَّارِبِينَ

“Dan sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum daripada apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih antara kotoran dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya” (QS. An Nahl : 66)

Di samping mencontohkan mimum susu sapi, Rasulullah SAW juga menganjurkan lewat sabdanya.

فَعَلَيْكُمْ بِأَلْبَانِ الْبَقَرِ فَإِنَّهَا تَرُمُّ مِنْ كُلِّ الشَّجَرِ

“Hendaklah kalian minum susu sapi karena ia makan dari setiap pohon” (HR. Ahmad, Hakim dan Ibnu Hibban; shahih)

Memang ada riset yang mengabarkan korelasi positif antara konsumsi susu dengan prevalensi kanker kolon di suatu populasi. Namun, ada pula riset yang membuktikan hal sebaliknya. Sejauh ini opini ilmiah yang paling bisa diterima adalah bahwa susu bukanlah penyebab utama suatu penyakit, melainkan ada peran (confounder) unsur makanan yang lain. Diet manusia mencakup banyak sekali jenis makanan yang ketika masuk ke tubuh akan berinteraksi (secara kompleks) dengan sistem metabolisme tubuh. Timbulnya suatu penyakit kronis menjadi sulit untuk dijelaskan dengan hanya satu jenis makanan. Jika untuk mempercepat kesembuhan dari satu penyakit, dokter menyarankan untuk berhenti minum susu, bukan berarti susu-lah kambing hitamnya kan?

Belakangan ini, perbincangan tentang susu segar organik (organic raw milk) dan susu olahan (milk in retail) cukup populer. Ada yang berpendapat bahwa susu segar dari sapi perah yang diternak secara organik lebih sehat dari susu kemas yang dijual di supermarket. Alasannya adalah susu organik lebih alami dan sesuatu yang berasal dari alam dipersepsikan aman untuk kesehatan. Sedangkan susu kemasan dikhawatirkan masih mengandung sisa pestisida, obat-obatan dan cemaran kimia lain yang berbahaya. Pandangan ini perlu diluruskan. Susu organik juga menawarkan resiko bahaya, yaitu kontaminasi mikroba dan cemaran kimia dari lingkungan, misalnya dioksin. Sementara bahaya-bahaya tersebut umumnya diminimalisir dengan teknologi pengolahan.

Mengapa susu sapi? Karena sapi lah binatang ternak yang produktivitas susunya paling tinggi. Untuk mencukupi kebutuhan susu populasi manusia yang jumlahnya besar, tentu akan lebih efisien dengan susu sapi daripada susu kambing/domba. Ada sejumlah produsen yang menawarkan susu kambing, namun harganya relatif lebih mahal dari susu sapi dan rasanya kurang bisa diterima. 

Jika tetap keukeuh untuk stop minum susu sapi, maka Anda harus siap dengan konsekuensinya. Anda harus mencari makanan alternatif pengganti susu untuk mencukupi kebutuhan protein, kalsium, dan mineral penting lainnya. Beberapa contoh makanan tinggi kalsium adalah kedelai (tahu tempe), brokoli, dan kacang-kacangan. Kandungan kalsium makanan tersebut masih lebih rendah dibanding susu, jadi perhatikan juga porsi yang harus dimakan.